Oleh:
Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam
A. DASAR BULAN RAJAB DALAM AL-QUR'AN & TAFSIRNYA
Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ
اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ
حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan
haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.
Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ
قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ،
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ
مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ،
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.
Di Balik Bulan Haram
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)
Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?
Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun Imam An-Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An-Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).
B. DASAR BULAN RAJAB & KEUTAMAANNYA DALAM PERSPEKTIF HADITS
- Salah satu hal yang disunnahkan selama bulan-bulan haram adalah memperbanyak puasa sunnah. Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah saw bersabda: “Berpuasalah pada bulan-bulan haram.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad). Dan karena Rajab termasuk bulan haram, maka memperbanyak puasa sunnah di bulan ini sangatlah dianjurkan.
- Hal lain yang disunnahkan semenjak datangnya bulan Rajab, sampai dengan menjelang masuknya bulan Ramadhan, adalah berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw: “Allaahumma baarik lana fii rajaba wa sya’baana, wa ballighna ramadhaana. (Ya Allah, berilah keberkahan pada kami di dalam bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan).” Hadits tentang doa ini disebutkan dalam banyak keterangan, seperti dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346), Al-Bazzar di dalam Musnadnya -sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar- (616), Ibnu As-Sunny di dalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658), Ath-Thabarany di dalam Al-Mu’jam al-Awsath (3939), Kitab ad-Dua’ (911), Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (VI:269), Al-Baihaqy di dalam Syu’ab al-Iman (3534), Kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14), Al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih (II:473). Doa yang diajarkan Rasulullah di atas di nomor, disamping untuk memohon keberkahan, juga merupakan ungkapan kerinduan yang meluap-luap terhadap Ramadhan. “Dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” Doa tersebut juga memberikan kesadaran bahwa kita, semenjak bulan Rajab ini, harus mulai mempersiapkan diri menyambut datangnya Ramadhan. Mengapa harus mulai Rajab? Bukankah Ramadhan masih dua bulan lagi? Ramadhan adalah satu diantara dua belas bulan, yang sangat istimewa dan penuh dengan berbagai keutamaan. Rasulullah saw dan para sahabat senantiasa girang dan gembira ketika Ramadhan semakin dekat, dan merasa bersedih ketika ditinggalkan oleh Ramadhan. Karena sedemikian istimewanya, dan hanya sebulan dalam setahun itulah, Ramadhan tidak boleh kita sia-siakan. Semenjak hari pertama Ramadhan, kita harus dalam keadaaan siap untuk ‘bertempur’ menggapai segala keutamaannya. Dan untuk itu, kita perlu bersiap jauh-jauh hari. Rajab adalah saat dimana kita harus mulai bersiap diri. Ramadhan membutuhkan banyak persiapan. Memperbanyak puasa sunnah di bulan Rajab, dan semakin memperbanyaknya nanti pada bulan Sya’ban, merupakan salah satu bentuk persiapan tersebut. Bagi yang belum bagus dalam membaca Al-Qur’an, semenjak saat ini harus bekerja keras untuk memperbaikinya, sehingga nantinya bisa berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan baik di bulan Ramadhan. Bagi yang belum terbiasa membaca Al-Qur’an, semenjak sekarang harus mulai membiasakannya, karena jika tidak maka pasti akan terasa berat melakukannya di bulan Ramadhan.
- Rasulullah Saw bersabda,“Sesungguhnya Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulan aku (Rasulullah SAW) dan bulan Ramadhan adalah bulan umatku”.
- Rasulullah Saw bersabda,“Semua manusia akan berada dalam keadaan lapar pada hari kiamat, kecuali para Nabi, keluarga Nabi dan orang-orang yang berpuasa pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Maka sesungguhnya mereka kenyang serta tidak ada rasa lapar dan haus bagi mereka”
C. MAKNA FILOSOFI BULAN RAJAB
Menurut Asy-Syaikh Sayyid Bahruddin Bin Abdurrazzaq Azmatkhan Al-Hafizh, dalam bukunya Keutamaan Bulan Rajab, beliau menulis bahwa Rajab terdiri dari tiga huruf akronim yaitu : Ra' dari kalimah rahmatullah (rahmat Allah), Jim dari kalimah jinayatul-'abd (kesalahan hamba Allah), dan Ba' dari kalimah birrullah (kebajikan Allah). Bulan Rajab disebut juga dengan nama Al-Summun artinya tuli. Tuli disini bermakna tidak dapat mendengar bunyi senjata karena peperangan diharamkan sepanjang bulan Rajab. (Asy-Syaikh Sayyid Bahruddin Bin Abdurrazzaq Azmatkhan Al-Hafizh, Keutamaan Bulan Rajab, h.2)
D. BULAN RAJAB DALAM PARADIGMA SUFISME IMAM AL-GHAZALI
Dalam sebuah buku Sufisme Imam Al-Ghazali, dikisahkan, seorang perempuan beribadah di Baitul maqdis dan setiap hari selama bulan Rajab ia selalu mendekatkan diri kepada Allah. Perempuan itu selalu memakai baju mantel. Pada suatu hari, perempuan itu sakit keras. Ia berwasiat kepada anaknya, jika ia meninggal agar mantelnya disertakan di dalam kuburnya. Namun anak itu lupa melaksanakan wasiat ibunya. Pada suatu malam, ia bermimpi melihat ibunya. Ibunya berkata, “Anakku, aku tidak meridhaimu, sebab engkau tidak melaksanakan wasiatku.”
Anak itu terbangun dengan perasaan cemas kemudian ia bergegas menuju kuburan ibunya lalu mulai menggalinya kembali untuk menguburkan mantel ibunya. Betapa kagetnya ia karena jenazah ibunya tidak ada. Lalu terdengarlah suara, “Apakah engkau tidak tahu bahwa barangsiapa yang taat kepada Kami pada bulan Rajab, Kami tidak akan membiarkannya sendirian di dalam kubur…”
Kata Rajab diambil dari kata at-tarjib, artinya pengagungan. Rajab disebut juga tercurah, sebab pada bulan ini Allah mencurahkan rahmatNya kepada orang-orang yang bertaubat dan mengabulkan doa untuk orang-orang yang beramal. Rajab juga berarti tuli, sebab pada bulan ini tidak terdengar suara peperangan. Rajab juga disebut sebagai al-Muthahhir, karena orang-orang yang berpuasa pada bulan itu akan disucikan dari berbagai dosa dan kesalahan.
Ada juga yang berpendapat bahwa Rajab adalah nama sebuah sungai di surga yang airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan lebih dingin daripada es. Tidak ada yang akan meminumnya, kecuali mereka yang berpuasa pada bulan Rajab. Sabda Rasulullah SAW:
“Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca shalawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.Dari sahabat Anas bin Malik r.a, Rasulullah SAW bersabda pula :
“Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut”.Dalam sebuah riwayat, sahabat Tsauban r.a bercerita:
“Ketika kami berjalan bersama Rasulullah SAW melalui sebuah kuburan, lalu Rasulullah berhenti dan beliau menangis dengan amat sedih, kemudian beliau berdo’a kepada Allah SWT. Lalu saya bertanya kepada Rasulullah SAW:
“Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis?” Lalu Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai Tsauban, mereka itu sedang disiksa dalam kubur mereka dan saya berdo’a kepada Allah, lalu Allah meringankan siksa kubur mereka”
Sabda Rasulullah SAW lagi: “Wahai Tsauban, kalau sekiranya mereka ini mau berpuasa 1 hari saja dalam bulan Rajab dan mereka tidak tidur semalam saja di bulan Rajab, niscaya mereka tidak akan disiksa dalam kubur”
Tsauban bertanya: “Ya Rasulullah, apakah hanya berpuasa 1 hari dan beribadah 1 malam dalam bulan Rajab, sudah bisa menghindarkan mereka dari siksa kubur?”
Sabda Rasulullah SAW: “Wahai Tsauban, Demi Allah Dzat yang telah mengutus saya sebagai Nabi, tiada seorang muslim lelaki dan perempuan yang berpuasa 1 hari dan mengerjakan sholat malam sekali dalam bulan Rajab dengan niat karena Allah, kecuali Allah mencatatkan baginya seperti berpuasa 1 tahun dan mengerjakan sholat malam 1 tahun”
Dari sahabat Salman al-Farizi r.a, Rasulullah SAW bersabda :
“Barangsiapa berpuasa satu hari pada bulan Rajab, maka seolah-olah dia telah berpuasa seribu tahun, dan seakan dia telah memerdekakan seribu budak. Dan barangsiapa bersedekah pada bulan itu, maka seolah-olah dia bersedekah dengan seribu dinar, dan ditetap dari setiap rambut yang ada pada tubuhnya dengan seribu kebaikan, an diangkatnya seribu derajat, dihapuskan darinya seribu keburukan, dan ditetapkannya baginya setiap hari yang dia gunakan untuk berpuasa dan bersedekah itu dengan seribu haji dan seribu umrah, serta dibangunkannya baginya seribu rumah, seribu istana dan seribu kamar.”
E. BULAN RAJAB DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM
Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah:
- Haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210).
- Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ “Tidak ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka. Imam Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanyaberpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied. ‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam). Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213).
- Amalan Kontroversial dengan Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab. Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut. Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali. Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu). Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126). Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242). Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
- Amalan Kontroversial dengan Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291). Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan, لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ “Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih). Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291). Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)
F. BULAN RAJAB DALAM PERSPEKTIF ASTRONOMI ISLAM
Bulan Rajab adalah bulan ketujuh dalam penanggalan qomariyah. Bulan Rajab adalah salah satu diantara dua belas bulan yang dimulai dengan Muharram dan diakhiri dengan Dzulhijjah. Pergantian bulan termasuk diantara tanda-tanda kekuasaan Allah. Setiap bulan berganti, seyogyanya ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita renungi. Rasulullah saw sendiri mengajarkan kepada kita untuk berdoa pada setiap pergantian bulan dalam penanggalan qomariyah, terutama ketika melihat hilal (bulan baru) pada malam harinya. Doa tersebut adalah:
“Ya Allah, Jadikanlah bulan ini kepada kami dalam kondisi aman dan hati kami penuh dengan keimanan, dan jadikanlah pula bulan ini kepada kami dengan kondisi selamat dan hati kami penuh dengan keislaman. Rabb-ku dan Rabb-mu Allah. Bulan petunjuk dan bulan kebaikan.” (HR At-Turmudzi)
Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam QS. At-Taubah (9): 36 sbb:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan; dalam ketetapan Allah, sejak hari Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang dihormati. Demikian itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu (dalam bulan yang empat itu)……”
Sejak hari dibentuknya sistem tata surya seperti bentuk yang kita lihat sekarang ini, terbentuk pula hitungan tahun dan bulan. Hitungan satu tahun adalah perputaran lengkap dari rotasi bumi mengelilingi matahari; dan dalam hitungan satu bulan adalah pergerakan penuh dari rotasi bulan mengelilingi bumi, yang terjadi sebanyak dua belas kali dalam setahun.
Kemudian al-Quran menambahkan bahwa terdapat empat bulan di antara dua belas bulan itu yang haram (disucikan), di mana menurut hukum agama diharamkan, pada bulan-bulan yang empat itu, untuk bertempur dan berperang. Yang dapat dipahami dari beberapa literatur Islam bahwa larangan berperang selama empat bulan ini adalah merupakan perintah yang bukan hanya dalam agama (kepercayaan) Nabi Ibrahim as, tetapi juga dalam agama yang diturunkan Tuhan kepada kaum Yahudi dan Nasrani, sebagaimana juga diturunkan kepada agama-agama langit yang lain. Sehingga apabila ada serangan dari kaum kafir kepada kaum muslimin, maka sudah semestinya bagi muslimin yang monoteistik untuk bersatu dalam satu barisan yang kokoh melawan musuh Islam.
Bulan Haram pada ayat di atas ialah bulan yang dihormati dan dimuliakan oleh al-Quran, mayoritas ahli tafsir mengemukakan bahwa ada empat bulan haram (mulia) yaitu Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab. Setiap bulan ataupun hari-hari tertentu yang dimuliakan pasti mempunyai makna sejarah dan nilai filosofis yang sangat berarti bagi kaum muslimin, demikian halnya dengan Rajab.
G. PERISTIWA PENTING DI BULAN RAJAB PERSPEKTIF HISTORIOGRAFI ISLAM
Sangat bagus pula kita mengingat peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Rajab, agar kita dapat mengambil ibrah (pelajaran). Menurut Asy-Syaikh Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh dalam bukunya Peristiwa Penting di Bulan Rajab, h. 9 - 60. Banyak sekali peristiwa-peristiwa bersejarah terjadi pada bulan Rajab di antaranya:
1. KELAHIRAN IMAM 'ALI BIN ABI THALIB DI DALAM KA'BAH
Terjadi peristiwa ajaib yang menggemparkan sejarah umat manusia. Sebab peristiwa ini tidak pernah terjadi sebelumnya dan tidak akan pernah terjadi sampai hari kiamat, demikian Nabi bersabda. Pada hari Jumat 13 Rajab, 23 tahun sebelum hijrah telah lahir seorang bayi suci di dalam Ka’bah.
Singkat cerita: Fatimah binti Asad, ibunda Ali bin Abi Thalib yang merupakan seorang wanita sholehah, mukminah dan pengikut agama tauhid, pada suatu hari ia memperoleh ilham dari Allah Swt supaya pergi ke Baitullah untuk bertawaf. Ketika sedang mengelilingi Kabah, tiba-tia ia merasakan sakit akan melahirkan. Lalu Fatimah binti Asad memegang kain penutup Ka’bah sambil bersimpuh ke dindingnya, kemudian berdoa: "Ya Allah, wahai Tuhan Pemilik rumah suci ini, sesungguhnya aku ini seorang wanita yang beriman kepada-Mu. Aku juga beriman kepada agama yang dibawa kakekku Ibrahim a.s., kepada para nabi yang telah Engkau utus serta kitab-kitab suci yang telah Kau turunkan. Ya Allah, demi kemuliaan rumah ini dan demi kesucian bayi yang sedang aku kandung ini, maka permudahlah proses kelahiran ini".
Tiba-tiba suatu keajaiban benar-benar terjadi, seketika terdengar suatu gemuruh karena dinding Ka’bah yang di hadapan Fatimah binti Asad terbelah. Fatimah masuk ke dalam Ka’bah, kemudian dinding Ka’bah yang retak itu tertutup kembali. Abbas bin Abdul Muthalib dan kawan-kawannya yang menyaksikan kejadian itu segera memberitahu suami Fatimah binti Asad, yaitu Abu Thalib. Mereka berusaha membuka pintu dan dinding Kabah, tetapi tidak berhasil. Akhirnya mereka hanya bisa menunggu, sambil berdoa dan berharap cemas. Tiga hari kemudian dinding Ka’bah terbelah lagi, Fatimah binti Asad keluar dengan memangku bayi mungil Ali bin Abi Thalib yang telah lahir di dalam Ka’bah.
Rasulullah Saw bersabda: "Ada yang aku miliki dan tidak dimiliki Ali, dan ada yang dimiliki Ali namun aku tidak memilikinya. Yang aku miliki dan tidak dimiliki Ali adalah bahwa aku seorang nabi dan rasul terakhir yang diutus oleh Allah Swt, sedangkan yang dimiliki Ali namun aku tidak memilikinya ialah bahwa ia satu-satunya manusia yang lahir di dalam Kabah".
Ali bin Abi Thalib yang merupakan salah seorang Ahlul Bait Nabi, sahabat yang diselimuti Nabi (Ahlul Kisa') dan menantu Nabi (QS.33: 33), beliau lahir di dalam Ka’bah (Baitullah) yang suci, tumbuh besar dalam buaian dan pangkuan Nabi paling suci yaitu Muhammad Rasulullah Saw, dan pada malam Lailatul Qadr (19 Ramadhan 40 H) ketika sedang melakukan sujud di Masjid Kufah ia dihantam oleh pedang si manusia paling terkutuk dan paling celaka yang bernama Ibnu Muljam, akhirnya pada malam Lailatul Qadr berikutnya (21 Ramadan 40 H) ruh Imam Ali bin Abi Thalib ini terbang menemui Allah Swt. Kalimat terakhir yang keluar dari lisannya yang suci ialah: "Fuzhu wa rabbilka'bati." Sungguh aku telah meraih kemenangan, demi Tuhan pemilik Kabah.
Demikianlah peristiwa besar yang terjadi di bulan Rajab dalam sejarah umat Islam. Umat Islam masih banyak yang tidak tahu terutama tentang tempat kelahiran Imam Ali bin Abi Thalib. Manusia yang ditakdirkan oleh Allah Swt lahir di dalam Baitullah dari rahim Fatimah binti Asad istri dari Abu Thalib.
2. HIJRAH PERTAMA KE NEGERI HABSYAH (ETHIOPIA)
Ketika pihak musyrikin Mekkah meningkatkan tekanan dan ancaman kepada kaum muslim dan Rasulullah Saw, maka Rasulullah Saw memerintahkan kepada para sahabat untuk melaksanakan hijrah ke negeri Habsyah (Ethiopia). Jumlah mereka adalah 14 orang termasuk 4 orang wanita. Habsyah dipilih oleh Rasulullah Saw karena rajanya dikenal dengan toleransi dan sikap terbukanya. Di antara mereka yang berhijrah ke Habsyah adalah Saidina Utsman ra dan istrinya Ruqayyah putri Rasulullah Saw.
3. PERISTIWA ISRA' MI'RAJ RASULULLAH SAW
Isra’ Mi’raj termasuk di antara mukjizat khusus yang Allah berikan hanya kepada Rasulullah Saw, tidak kepada nabi-nabi yang lain. Isra’ ialah perjalanan malam Rasulullah Saw dari Masjidil Haram (Mekkkah) ke Masjidil Aqsha (Palestina). Mi’raj ialah dari Masjidil Aqsha, Rasulullah meneruskan perjalanannya ke alam langit menuju Sidratul Muntaha. Ketika di Sidratul Muntaha, Rasulullah Saw hanya sendirian dan malaikat Jibril hanya sampai di bawah Sidratul Muntaha karena sudah tidak mampu untuk naik bersama Rasulullah Saw ke Sidratul Muntaha. Di Sidratul Muntaha, Rasulullah Saw menerima perintah langsung dari Allah Swt untuk melaksanakan Shalat Fardhu 5 waktu dalam sehari semalam. Setelah itu Rasulullah Saw kembali lagi ke Masjidil Haram di Makkah. Menurut suatu riwayat, semua rangkaian peristiwa yang luar biasa menakjubkan tersebut hanya ditempuh dalam waktu sepertiga malam. "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) yang Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. 17 : 1). Allah juga menjelaskan peristiwa Mi’raj ini lebih detail pada QS. 53: 1-18. Sesungguhnya dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini banyak sekali kejadian-kejadian hebat yang dialami Rasulullah Saw, demikian juga pemandangan-pemandangan sangat menakjubkan yang Allah Swt memperlihatkan kepada hamba tercinta-Nya. Rasulullah Saw melakukan Isra’ Mi’raj tersebut dengan ruh dan jasadnya. Jika hanya dialami oleh ruhnya saja tentu tidak akan menjadi satu mukjizat yang super spektakuler, sebab manusia lain pun memiliki kemungkinan untuk mengalami peristiwa seperti itu. Misalkan ketika mimpi terbang ke langit ke tujuh, sebab kejadian mimpi hanya dialami oleh ruh seseorang.
Dalam menentukan tarikh peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut para ulama berbeda pendapat, sebahagian ulama mengatakan pada 27 Rabiul Akhir; sebagian 17 Rabiul Awal; sebagian 29 Ramadhan; sebagian 27 Rajab dan sebagian 7 Rabiul Awal. Tetapi yang terbanyak ialah golongan yang mengatakan pada tanggal 27 Rajab, sekalipun tidak disertai alasan yang kuat. Bahkan tahun kejadiannya juga terdapat perselisihan pendapat dikalangan ulama, ada sebagian yang mengatakan pada tahun ke 5 dari Bi'tsah (tahun pertama diutusnya Nabi), sebagian tahun ke 12 dari Bi'tsah, sebagian pada tahun sebelum Nabi hijrah ke Thaif, sebagian tahun ketiga sebelum hijrah Nabi Saw ke Madinah dan sebagian pula berpendapat lain dari semuanya itu. Tetapi Ibnu Saad dalam kitabnya "At-Tobaqatil Qubra", berpendapat bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah Saw terjadi pada delapan belas bulan sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah.
Tetapi dalam sebuah hadits sahih tentang puasa hari Senin, Rasulullah Saw menyatakan bahwa hari itu (Senin) dilahirkan, diutus menjadi Rasul, dan diturunkan al-Quran pertama kalinya (HR Muslim). Jabir dan Ibnu Abbas berpendapat Rasulullah Saw dilahirkan malam Senin 12 Rabiul Awal, pada hari dan tanggal itu beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul, di mi'rajkan ke langit, hijrah ke Madinah, dan wafat. Berdasarkan rekontruksi kronologis astronomi oleh T. Djamaluddin (Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung). Kalau peristiwa Isra' Mi'raj terjadi pada 27 Rajab 1 SH (satu tahun sebelum Hijrah). Itu berarti terjadi pada hari Rabu 15 Oktober 620 M. Pendapat ini sangat bertentangan dengan HR Muslim tentang puasa hari Senin. Bahkan bertentangan juga dengan pendapat Jabir dan Ibnu Abbas. Bila mengikuti pendapat Jabir dan Ibnu Abbas bahwa Isra' Mi'raj terjadi pada hari Senin 12 Rabi'ul Awal, berarti terjadi pada 12 Rabiul Awal 3 SH (tiga tahun sebelum Hijrah) yang bertepatan dengan hari Senin 6 November 618 M. Lantas yang benar tanggal berapa kejadian Isra' Mi'raj Rasulullah Saw tersebut. Penulis lebih cenderung mengikuti pendapat Jabir dan Ibnu Abbas bahwa Isra' Mi'raj Rasulullah Saw terjadi pada hari Senin 12 Rabiul Awal 3 SH (3 tahun sebelum Hijrah) bertepatan dengan 6 November 618 M.
4. PERANG TABUK
Pada bulan Rajab tahun 9 H, Rasulullah saw. bersama 30 ribu pasukan kaum muslimin pergi meninggalkan Madinah menuju Tabuk di wilayah Syam (Suriah). Ekspedisi ini bertujuan untuk menghadapi pasukan Romawi yang sudah bersiap di sana. Pasukan kaum muslimin bergerak menembus panasnya cuaca saat itu melewati ratusan kilometer gurun pasir. Mendengar kedatangan pasukan yang sedemikian besar dan pantang menyerah serta dipimpin oleh Nabi Muhammad sendiri, pasukan Romawi sudah merasa kalah. Mereka berkecut hati dan mundur ke benteng mereka. Akhirnya, kaum muslimin berhasil menguasai Tabuk tanpa perlawanan yang berarti. Dengan kemenangan dalam Perang Tabuk ini, maka kekuatan islam memperkokoh kedudukannya di seluruh Jazirah Arab.
5. KEMENANGAN SHALAHUDDIN AL-AYYUBI DALAM PENAKLUKKAN YERUSSALEM
Di bulan Rajab pulalah, pada tahun 583 H (1187 M), Shalahudin Al Ayubi memimpin pasukannya berangkat ke Yerusalem untuk membebaskannya dari cengkeraman pasukan perang salib yang telah menguasainya selama hampir satu abad. Beberapa bulan sebelumnya, pasukan Shalahudin juga telah mengalahkan 2 pasukan perang salib dalam Perang Hittin. Kemenangan Shalahudin sangatlah istimewa karena berhasil mengembalikan bumi Isra’ Mi’raj dan kiblat pertama kaum muslimin ke dalam pangkuan islam. Selain itu, kemenangan ini juga mencegah penguasaan kaum kristiani atas tanah dan negeri kaum muslimin.
6. RUNTUHNYA KHILAFAH ISLAM KARENA PENGKHIANATAN MUSTAFA KEMAL PASHA
Selain kemenangan bersejarah, bulan Rajab juga menjadi saksi kekalahan dan kemunduran kaum muslimin. Tujuh ratus enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 28 Rajab 1342 H (3 Maret 1924 M),Khilafah Islamiyah dihapus secara resmi oleh Mustafa Kemal Pasha di Turki. Institusi yang menyatukan seluruh kaum muslimin di dunia ini hancur pada saat itu. Tidak ada lagi satu institusi yang menjadi pelindung bagi kaum muslimin secara global. Tidak ada lagi institusi yang menjamin terlaksananya syariat islam dan hukum-hukum Allah di muka bumi. Tameng pelindung jiwa, kehormatan, harta dan kekayaan kaum muslimin telah dilenyapkan sehingga kaum muslimin hanya menjadi santapan lezat yang diperebutkan oleh kaum kolonialis dan kapitalis. Khilafah itu kini berganti menjadi negara-negara sekuler yang tercerai berai di seluruh dunia.
Wallahu A'lamu Bish Shawwab
(Kebenaran datangnya dari Allah, kekhilafan datangnya dari hamba yang faqir dan dhoif)
REFERENSI:
- Al-Qur'anul Karim, QS At-Taubah: 36
- Abu Nu’aim, Kitab al-Hilyah (VI:269),
- Al-Baihaqy, Kitab Syu’ab al-Iman (3534), Kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14),
- Al-Bazzar, kitab Kasyf al-Astaar- (616),
- Al-Khathib al-Baghdady, Kitab al-Muwadhdhih (II:473)
- Ath-Thabarany, Kitab Al-Mu’jam al-Awsath (3939), Kitab ad-Dua’ (911),
- Ibnu Al-Jauzi, Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126
- Ibnu As-Sunny, Kitab ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658),
- Ibnu Rajab, Latho-if Al Ma’arif, 202)
- Ibnu Saad, Kitab At-Tobaqatil Qubra
- Ibnu Taymiyah, Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291
- Imam Abu Dawud, Kitab Sunan Abu Dawud
- Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
- Imam Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin
- Imam Asy-Syafi'i, Kitab Al-Umm
- Imam Ath-Thabrani, Kitab Sunan Ath-Thabrani
- Imam Ibnu Majah, Kitab Sunan Ibnu Majah
- Imam Bukhari, Kitab Shahih Bukhari, HR. Bukhari no. 3197; HR. Bukhari no. 5473
- Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, Muslim no. 1679; Muslim no. 1976
- Asy-Syaikh Sayyid Bahruddin Bin Abdurrazzaq Azmatkhan Al-Hafizh, Keutamaan Bulan Rajab
- Asy-Syaikh Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh, Peristiwa Penting di Bulan Rajab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar